Selamat Datang di Website Partabagsel Bersatu: Wadah Perhimpunan Masyarakat Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Padangsidimpuan, Padang Lawas dan Padang Lawas Utara. HORAS TONDI MADINGIN, SAYUR MATUA BULUNG..

POHON BERINGIN DITEBANG DEMI KURSI ANAKNYA

 Pak Jali, tukang kayu yang terkenal di kampung, punya satu kelemahan: cintanya yang buta pada sang anak, Jono. Jono, bocah berumur lima tahun, manja dan suka merengek.  Setiap permintaannya, Pak Jali langsung turuti. 

Suatu hari, Jono meminta kursi baru. Bukan kursi biasa, tapi kursi yang terbuat dari kayu beringin. Alasannya? Karena menurut Jono, kayu beringin itu kuat dan awet, cocok untuk kursi yang akan dipakai setiap hari. 

Pak Jali, yang terlanjur sayang pada Jono, langsung setuju. "Baiklah, Nak. Papa carikan kayu beringin yang bagus untuk kursimu," katanya.


Sayangnya, di kampung mereka, pohon beringin yang besar dan bagus hanya ada satu. Pohon itu sudah berumur ratusan tahun, menjadi tempat teduh dan berteduh bagi warga.  Pak Jali pun bimbang. 


"Pak Jali, janganlah menebang pohon beringin itu!" kata Pak Karto, tetangganya. "Pohon itu sudah tua, tempat berteduh kita semua."


"Iya, Pak Jali. Pohon itu juga tempat burung-burung bersarang," tambah Bu Yati, penjual sayur.


Pak Jali hanya bisa menggaruk kepala. Dia ingin menyenangkan Jono, tapi juga tidak ingin membuat warga marah. Akhirnya, dia punya ide. 


"Begini, Pak Karto, Bu Yati," kata Pak Jali. "Saya akan menebang pohon beringin itu, tapi saya akan menggantinya dengan dua pohon baru. Bagaimana?"

Warga pun setuju. Pak Jali pun mulai menebang pohon beringin itu.  Dia bekerja dengan semangat, ingin segera menyelesaikan kursi untuk Jono. 

Sehari kemudian, Pak Jali selesai menebang pohon beringin. Dia langsung mengangkut kayunya ke bengkel.  Jono, yang sudah tidak sabar, langsung berteriak, "Papa, cepat buat kursinya! Aku mau duduk!"

Pak Jali pun mulai membuat kursi. Dia bekerja dengan hati-hati, ingin membuat kursi yang kuat dan nyaman untuk Jono. 

Setelah beberapa hari, kursi pun selesai.  Jono langsung bersemangat mencoba.  

"Wah, kursiku bagus sekali, Papa!" katanya. "Terima kasih, Papa!"

Pak Jali tersenyum puas. Dia senang bisa menyenangkan Jono. 

Namun, keesokan harinya, Jono malah menolak duduk di kursi baru itu. 

"Aku tidak mau duduk di kursi ini, Papa!" katanya. "Aku mau duduk di bawah pohon beringin. Di sana lebih sejuk dan banyak burung berkicau."

Pak Jali tercengang.  Dia baru menyadari bahwa dia telah melakukan kesalahan besar.  Dia telah menebang pohon beringin yang disayangi warga, hanya untuk membuat kursi yang tidak disukai Jono. 


"Maafkan Papa, Nak," kata Pak Jali. "Papa salah.  Papa akan menanam pohon beringin baru di tempat yang sama."

Jono pun tersenyum. "Benar, Papa. Kita harus menanam pohon baru.  Pohon beringin itu penting bagi kita semua."

Sejak saat itu, Pak Jali belajar untuk tidak terlalu manja pada Jono.  Dia juga belajar untuk menghargai alam dan kebutuhan warga.  Dan, yang paling penting, dia belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu terletak pada benda, tetapi pada kebersamaan dan kepedulian terhadap lingkungan.

: